Pabrik Bunyi

Personal music. Critical essays.

Ssst, Ada Pengamen Bersuara Mirip Harvey Malaiholo

Proyek musik Pabrik Bunyi meluncurkan lagu baru berjudul Indonesia Merdesa via toko-toko musik digital iTunes, Apple, JOOX, dan lain-lain per 1 Oktober 2018. Untuk aransemen dan permainan instrumen langsung, Pabrik Bunyi menggandeng musisi-musisi Bandung Bendra dan Dhika; untuk vokal, Deden Malioboro. Berikut profil Deden Malioboro.

Deden Abdurrahman, alias Deden Malioboro, adalah pria yang lahir di Bogor pada 22 Juli 1990. Dia anak bungsu dari lima bersaudara dan satu-satunya yang tuna netra. Ayahnya yang kelahiran Lombok adalah mantan karyawan perusahaan swasta, sedang ibunya yang kelahiran Bogor seorang ibu rumah tangga.

Bercita-cita menjadi guru atau seniman, Deden sekarang kuliah di program studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jurusan Keguruan dan Imu Pendidikan Universitas Cokroaminoto Yogyakarta. Di antara kegiatan di organisasi sosial seperti Pertuni (Persatuan Tuna Netra Indonesia untuk wilayah kota Yogya) dan KKI (Komunitas Keluarga Inklusi), pria lajang ini mengamen dengan menyanyi diiringi musik minus one di depan Mal Malioboro Yogyakarta setiap malam. Kegiatan mengamen ini selain untuk menyalurkan bakat vokalnya, juga untuk mencari nafkah bagi orang tua, keluarga dan anak asuhnya. “Saya juga menyisihkan sebagian rezeki untuk membiayai seorang anak asuh yang masih bersekolah, “ kata Deden yang memiliki kualitas suara seperti Harvey Malaiholo ini.

Pada September 2018, Deden digandeng penulis dan jurnalis Kelik M. Nugroho yang pernah bekerja di grup Tempo dan kemudian membuat proyek musik bernama Pabrik Bunyi, untuk menyanyikan lagu berjudul Indonesia Merdesa karya Kelik M. Nugroho. Diiringi permainan instrumen langsung yang diaransemen oleh musisi Bendra dan Dhika dari Bandung, lagu ini akan beredar di toko-toko musik digital. *

  • Category

  • Song

    • Indonesia Merdesa-18528
  • Artist

    • Pabrik Bunyi
  • Album

    • Single
  • Licensed to YouTube by

    • AdRev for Rights Holder (on behalf of Netrilis)

Oktober 11, 2018 Posted by | Music | , , , , , | Tinggalkan komentar

Lagu No Discrimination Tayang di iTunes

Apa kabar para sahabat? Maaf, setelah sekian lama, baru hari ini, saya bisa memposting sesuatu lagi.

Alhamdulilah lagu No Discrimination karya kami sudah bisa diunduh di toko musik digital iTunes sejak 1 Juni 2018, kebetulan bertepatan dengan Hari Kelahiran Pancasila. Tema antidiskriminasi tentu relevan dengan nilai Pancasila persatuan Indonesia. Juga relevan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, harmonis dalam keragaman. Videoklip lagu ini bisa disaksikan di kanal Youtube.

Lagu No Discrimination karya pertama Pabrik Bunyi yang mengandung syair. Pun berbahasa Inggris, karena diharapkan pesannya menjangkau manusia lebih banyak di muka bumi. Lagu ini hasil kolaborasi Pabrik Bunyi dengan Nadea dan Ario, dua musisi asal Jogja.

Pada 2015, melaui iTunes juga, Pabrik Bunyi telah menerbitkan satu mini album berjudul Hyperpositive yang berisi 6 lagu tanpa syair. Album yang memakai instrumen digital ini hasil kolaborasi dengan penata musik Kindar Bhakti Nusantara dan Seno.

Selamat mengapresiasi musik karya musisi Indonesia. Kalau bukan Anda yang peduli, lalu siapa? *

Juni 8, 2018 Posted by | Music | , , , , , | Tinggalkan komentar

Ide untuk Badan Ekonomi Kreatif

Ide untuk Badan Ekonomi Kreatif                                               

Kelik M. Nugroho, @KelikMNugroho

Pada 2007, Departemen Perdagangan RI menerbitkan buku Pengembangan Industri Kreatif menuju Visi Indonesia Kreatif 2025. Dalam buku juga dimuat Rencana Pengembangan 14 Subsektor Industri Kreatif Indonesia (2009-2015). Sebagian isinya mungkin sudah tidak relevan, tapi sebagian sisanya tentulah masih relevan karena bisa menjadi bahan evaluasi untuk pengembangan industri kreatif paling tidak 10 tahun ke depan.

Memuat semua aspek pengembangan industri kreatif di Indonesia secara komprehensif dan mendetail, buku ini niscaya bisa dijadikan model perencanaan pengembangan industri kreatif di Indonesia. Pertanyaannya: apakah pengembangan industri kreatif selama 2009-2014 berhasil? Saya kira, berdasarkan buku ini, para stake holder di bidang industri kreatif bisa memakainya sebagai parameter untuk mengukur berhasil-tidaknya program pengembangan industri kreatif dalam kurun 2009-2014.

Karena itu, salah satu langkah yang harus dilakukan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), yang menggantikan sebagian peran Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sejak 2014, adalah menggunakan buku ini untuk mengevaluasi konsep dan pelaksanaan program pengembangan industri kreatif dalam kurun 2009-2014.

Untuk selanjutnya, pada tahun pertama Bekraf mengkaji relevansi rekomendasi rencana aksi masing-masing subsektor. Jika ada rencana aksi yang masih relevan, Bekraf harus segera mengeksekusi, sebagaimana ciri etos kerja yang ditekankan Presiden Joko Widodo: kerja cepat.

Industri kreatif di era Presiden Joko Widodo diasumsikan akan berkembang lebih cepat dibanding pada masa pemerintahan sebelumnya, karena banyak faktor, antara lain: karakteristik manajemen pemerintahan Joko Widodo yang menyatakan bahwa semua program pemerintah adalah program presiden. Pernyataan ini untuk mengikis kecenderungan sifat ego sektoral kementerian yang selama ini mengendurkan kerja sama antara kementerian dan lembaga.

Karena itu, sejumlah rekomendasi rencana aksi pengembangan industri kreatif yang melibatkan kementerian dan kerja sama lintas kementerian bisa diinventarisasi, dikaji relevansinya, dan kemudian dieksekusi sesegera mungkin. Di era Jokowi, diasumsikan bahwa hambatan-hambatan yang sifatnya birokratis bisa diselesaikan dengan cepat.

Langkah lain: 1) Membuat prioritas pengembangan subsektor industri kreatif (saya usulkan prioritasnya: kerajinan, kuliner, fashion, musik, dan film); 2) Membuat proyek mercusuar. Ini untuk memudahkan publik melihat prestasi Bekraf dalam lima tahun mendatang; 3) Pembentukan bank data dan riset; laboratorium kreasi; serta divisi promosi–yang harus dibaca dan ditafsirkan dalam satu napas “penciptaan atmosfer kreatif dan entrepreneurship”.

Modelnya bisa melihat Thailand Creative and Design Center (TCDC), badan mirip Bekraf, yang berfokus memberi akses ke publik berupa pengetahuan sebagai sumber inspirasi baru. Peran TCDC antara lain menghubungkan industri kreatif Thailand dengan tren dan pusat industri kreatif serta desain dunia; menghubungkan kreativitas dan desain dengan keunikan, pengetahuan lokal, UKM, dan pasar. TCDC juga berhasil membangun one-stop point bagi pelaku industri kreatif untuk berbagi pemikiran dan talenta, dan mendapatkan akses ke basis data yang kaya. *

Juni 8, 2015 Posted by | Essay | | Tinggalkan komentar

Humor Politik

Humor Politik
Koran Tempo, Senin, 06 Januari 2014 | 03:22 WIB

Oleh Kelik M. Nugroho, @KelikMNugroho

 

Humor politik menemukan lahan baru untuk berkecambah di media sosial Twitter. Sebuah koran nasional berkomentar dalam rubrik Pojok, kurang-lebih begini: Mendagri berencana melantik Hambit Bintih (bupati terpilih) di rumah tahanan di Jakarta. Di media sosial, Mendagri disebut Menteri Dagelan RI. Humor ini dikutip dari media sosial-salah satunya Twitter.

Memang, Twitter adalah media digital yang canggih, yang memungkinkan orang mengekspresikan pendapat apa saja, termasuk humor politik, secara bebas dan berefek seluas jumlah pengikutnya, ditambah pengikut yang mengirim ulang kicauan. Twitter juga media komunikasi yang bersifat egaliter-siapa saja dengan ragam status sosial bisa saling berinteraksi. Sifat egaliter inilah yang menjadikan humor politik seperti menemukan panggungnya.

Contoh humor politik dari orang kebanyakan adalah kicauan orang berakun @yozeroo: Satu lagi produk asli indonesia » farhatabbaslaw :)) #HumorPolitik. Humor ini menyindir tingkah laku pengacara Farhat Abbas yang sering membuat sensasi. Contoh lain datang dari akun @canda¬tawacom: Partai SRI gagal lolos verifikasi, Srimulyani dikabarkan frustrasi dan berniat masuk Srimulat! #humorpolitik. Humor ini mencandai nasib partai yang mendukung mantan menteri Sri Mulyani.

Kita juga bisa menemukan humor-humor politik yang dilontarkan langsung oleh pejabat tinggi dan pesohor-fenomena baru berkat Twitter. Contoh kicauan komedian Butet Kartaredjasa via akun @masbutet: Yang paling menarik usulan Susilo Gandrik untuk koruptor, “dihukum gantung 5 tahun lamanya”. #mbathang.

Salah satu menteri yang aktif di jagat Twitter adalah Dahlan Iskan. Pola komunikasinya egaliter dan apa adanya, sehingga sering tampak melucu. Lihat saja kicauan via akun @iskan_dahlan ini: Asyiiiik, siapa lagi yang mau daftar jadi calo? Cepetan daftar hahaha. Kicauan ini menanggapi kicauan akun @TrioMacan2000: calo pemeras di BUMN itu antara lain:….

Humor politik yang saya contohkan tersebut merupakan sebagian dari kicauan yang berseliweran di linimasa akun Twitter saya sepanjang 2013. Berkat teknologi yang disediakan Twitter, saya mampu menyimpan kicauan yang berisi humor politik yang mampir di linimasa melalui menu Favorite-yang kebetulan saya baca di sela-sela kemacetan Jakarta, ketika nongkrong di kafe-kafe mal, atau ketika malam menjelang tidur. Sayangnya, belum banyak orang yang berkicau dengan tagar (tanda tematik) #HumorPolitik. Ketika saya mencari di jagad Twitter dengan tagar ini, hanya muncul 50 kicauan.

Humor politik, menurut saya, lebih bernilai daripada pesan-pesan politik yang langsung atau kadang bahkan disertai makian. Humor politik terasa lebih bergaya, berselera, dan cerdas dibanding pesan-pesan politik yang vulgar. Apalagi di Twitter tak ada sensor.

Dengan humor, kita dapat memberikan suatu wawasan yang arif sambil tampil menghibur. Humor dapat pula menyampaikan siratan menyindir atau suatu kritik bernuansa tawa. Humor juga dapat menjadi sarana persuasi untuk mempermudah masuknya informasi atau pesan yang ingin disampaikan sebagai sesuatu yang serius dan formal (Dick Gauter via Didiek Rahmanadji). *

 

April 23, 2014 Posted by | Essay | | Tinggalkan komentar

Karakter Apresiasi

Karakter Apresiasi

Kamis, 05 Desember 2013 | 00:34 WIB

Kelik M. Nugroho, @KelikMNugroho

Ketika perhelatan Ujian Nasional 2013 diwarnai kekacauan di beberapa daerah, dan buntutnya ada laporan penyelewengan yang dialamatkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi, saya terpikir untuk berkomentar di Twitter. “Ketika yang baik-baik tidak diapresiasi, jangan salahkan jika yang buruk-buruk malah terkuak ke publik,” kata saya kurang lebih begitu. Kicauan ini di-retweet (RT) beberapa teman yang mengindikasikan bahwa pendapat saya menarik dan didukung sejumlah follower saya.

Saya sendiri tidak mencoba menyebut (mention) akun Menteri Nuh yang kadang-kadang aktif, atau akun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang kurang aktif, karena bagi saya peristiwa di Kementerian Pendidikan itu hanya saya ambil hikmah dan renungannya. Kicauan saya pun tak menyebut nama Kementerian, karena hal yang serupa sangat mungkin terjadi di lembaga lain.

Padahal harus diakui renungan itu bisa muncul sejatinya memang karena saya sedikit tahu “daleman” Kementerian Pendidikan. Setahu saya penunjukan pejabat di kementerian ini, khususnya pejabat eselon I setingkat direktur jenderal, dilakukan berdasarkan pertimbangan politik, selain sedikit pertimbangan kompetensi. Si Anu diangkat menjadi dirjen karena itu pesanan dari partai ini, partai itu, demikian bisik-bisik antar-orang. Salah satu indikasi yang mencolok di mata saya, ada seorang pejabat yang pernah mendapat penghargaan internasional, tapi dia tak kunjung mendapat promosi. Kalaupun naik jabatan, diperlukan waktu lebih lama.

Berbicara soal apresiasi, pada Jumat, 29 November 2013, Kementerian Pendidikan menyelenggarakan Anugerah Peduli Pendidikan. Sebanyak 29 penghargaan diberikan untuk mengapresiasi pihak-pihak yang telah memberikan kontribusi nyata dalam bidang pendidikan melalui berbagai cara sepanjang tahun 2013. Para penerima penghargaan dibagi dalam lima kategori: Perusahaan/BUMN, Kabupaten/Kota; Yayasan Nirlaba/Kelompok Masyarakat; Individual/Inovator Pendidikan; dan Program Acara Televisi.

Sebuah perusahaan jamu menyalurkan dana sosialnya untuk mengobati siswa yang menderita penyakit mata, karena hal itu mengganggu prestasi belajar siswa. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman pribadi, seseorang dari perusahaan itu membuat program sosial itu–sesuatu yang masuk akal. Dari kategori lain, ada nama-nama seperti Andi F. Noya, Yayasan Indonesia Mengajar-nya Anies Baswedan, dan AA Ayu Ketut Agung.

Di depan para penerima penghargaan dan tetamu lain, Menteri Muhammad Nuh mengatakan bahwa salah satu alasan pemberian apresiasi itu adalah karena kementerian ingin belajar memberikan penghargaan. “Karena kebiasaan menghargai itu harus dibangun,” kata Menteri Nuh yang wajahnya terpancar di layar LCD jumbo berdefinisi tinggi dengan tangan kanan diletakkan di depan dadanya. Kata kuncinya, kebiasaan mengapresiasi harus dibangun karena kecenderungan manusia itu susah menghargai prestasi orang lain. “Hanya orang yang berhasil yang bisa menghargai keberhasilan orang lain, karena dia tahu betapa berat efffort-nya,” kata Nuh lagi.

Tentu, sikap mengapresiasi itu positif. Tapi Menteri Nuh mestinya mengimbangi budaya mengapresiasi pihak luar dengan mengapresiasi juga birokrat-birokrat yang baik di dalam Kementerian. *

April 23, 2014 Posted by | Essay | , , | Tinggalkan komentar

Taman Bacaan Koleksi Tokoh

Sumber: Koran Tempo Minggu, 24 Maret 2013, halaman A21, rubrik Ide

Taman Bacaan Koleksi Tokoh

Kelik M. Nugroho, penulis dan wartawan

Para tokoh berbagai bidang umumnya memiliki koleksi buku yang bermutu, terseleksi, penting, bersejarah, dan mungkin mahal. Namun sering kali, sepeninggal si tokoh, ahli warisnya tak mampu merawat koleksi itu, karena kendala ekonomi dan perbedaan minat serta kecintaan terhadap buku. Lebih buruk dari itu, koleksi si tokoh tak jarang dibuang ke tempat sampah, atau dijual ke pedagang barang bekas, atau rusak berat karena musibah kebakaran, kebanjiran, dan lain-lain. Padahal koleksi buku si tokoh sebetulnya aset penting dan mahal.

Banyak cerita mengenaskan mengenai nasib buku koleksi para tokoh ini. Contohnya, koleksi buku Ragil Suwarno Pragolapati, sastrawan Yogya seangkatan Emha Ainun Nadjib, yang hilang secara misterius di Pantai Parangtritis, Bantul, pada 1990-an. Selain dikenal sebagai sastrawan, dia dikenal sebagai dokumentator sastra yang gigih, tekun, dan berdedikasi. Isi dokumentasinya diperkirakan berjumlah ribuan dalam berbagai format, yaitu buku, buletin, majalah, lampiran, dan lain sebagainya.

Dulu, koleksi dokumentasi tersebut disimpan di rumah kontrakannya yang sederhana di Kampung Minggiran, Yogya. Setelah Ragil menghilang, istrinya harus menghidupi dua anaknya dan merawat buku warisan tersebut. Sampai tahun 2009, istri dan anaknya hidup di rumah kontrakan dan berpindah dari satu rumah ke rumah lain. Sedangkan nasib koleksi buku Ragil? Tak jelas.

Ternyata, nasib mengenaskan tak hanya menimpa tokoh lokal seperti Ragil. Bahkan nasib koleksi buku milik salah satu pendiri Republik Indonesia pun bernasib mirip. Lihat saja Perpustakaan Hatta di Jalan Solo, Yogyakarta, yang dikelola oleh Yayasan Hatta. Berdiri sejak 1950-an (waktu itu masih di Jalan Malioboro), perpustakaan yang kemudian berpindah ke Jalan Solo itu terpaksa ditutup pada 26 April 2007. Dikelola oleh swasta, perpustakaan ini sebetulnya pernah menerima tawaran bantuan dari Presiden Soeharto, namun tawaran itu ditolak karena alasan perbedaan paham. Lama-kelamaan, pihak pengelola perpustakaan tak mampu menggaji karyawannya.

Buku-buku koleksi tokoh, dengan segala keunikannya, sebetulnya sangat bernilai. Tak hanya bernilai sejarah, juga bernilai rupiah. Namun bukan soal harga rupiah yang tinggi itu–jika dilelang–yang menjadi perhatian di sini, melainkan nilai sejarahnya yang sebetulnya bisa memiliki berjuta makna bagi generasi muda Indonesia. Bayangkan, seorang mahasiswa fakultas ekonomi sekarang bisa membaca buku Pengantar Kedjalan Ekonomi Sosiologi karya Muhammad Hatta keluaran Penerbit Fasco, Jakarta, tahun 1957. Betapa pengalaman itu (mungkin) akan menghadirkan perasaan yang tak sekadar transformasi tekstual.

Buku-buku koleksi tokoh adalah aset. Untuk itu, ia harus dirawat, untuk kepentingan yang lebih bernilai. Pemerintah bisa turun tangan untuk ini. Salah satu jalan untuk mewujudkan gagasan itu adalah menciptakan varian baru TBM Koleksi Tokoh, taman bacaan masyarakat yang dikelola oleh keluarga si tokoh yang memperoleh dana stimulan dari pemerintah.

Taman Bacaan Masyarakat (TBM) merupakan program Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ada dua kategori TBM, yaitu TBM umum dan TBM komunitas khusus. Selama ini program TBM yang dikelola Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat secara umum berlangsung baik.

Dilaporkan, jumlah TBM di seluruh Indonesia ada 6.000 unit, walaupun laporan ini tak tercatat dalam data tertulis yang terstruktur. Sekitar 50 unit TBM memang telah diverifikasi keberadaannya dan masuk kategori TBM layak kunjung. Festival TBM yang diselenggarakan pada 2012 di Jakarta memperlihatkan gereget para pengelola TBM dalam menghidupkan program ini. Juga sejumlah TBM@Mall, varian baru TBM yang melayani pengunjung pusat belanja, masih mampu bertahan dan ikut mendukung sosialisasi TBM di masyarakat perkotaan.

Namun harus diakui bahwa sebetulnya ada beberapa kelemahan dalam pengembangan TBM. Pertama, menyangkut kualitas koleksi buku. Masih menjadi pertanyaan, bermutukah buku-buku yang tersedia di TBM? Atau adakah standardisasi buku-buku yang patut menjadi koleksi TBM? Kedua, menyangkut pengawasan penggunaan dana bantuan sosial (block grant) yang mengucur dari Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat. Apakah lembaga pengelola TBM yang mengajukan proposal dana benar-benar menggunakan dana sesuai dengan acuan? Apakah lembaga tersebut bonafide?

Nah, TBM Koleksi Tokoh, sebagai varian baru–mungkin bisa masuk kategori TBM Komunitas Khusus–diharapkan bisa mengatasi dua kelemahan yang disebutkan di atas. Dari sisi kualitas buku, TBM Koleksi Tokoh jelas memiliki koleksi buku yang bermutu, karena hasil koleksi seorang tokoh, dan secara umum merupakan buku lama yang memiliki nilai historis dan turistis. Dari sisi kelembagaan, karena TBM bertumpu pada si tokoh, diharapkan lembaga yang dibentuk lebih jelas identitasnya, dan tentu diharapkan mampu menjaga kepercayaan publik terhadap si tokoh.

Secara tidak langsung, TBM Koleksi Tokoh adalah penerjemahan dari konsep TBM Kreatif-Rekreatif–yang bertumpu pada koleksi buku si tokoh yang dinilai sebagai aset yang sangat bernilai untuk pendidikan masyarakat. TBM ini adalah gagasan cerdas untuk memanfaatkan koleksi buku seseorang, atau bahkan perpustakaan pribadi seseorang, dan sekaligus daya tarik si tokoh, untuk menghidupkan kegiatan taman bacaan masyarakat.

Konsep TBM Koleksi Tokoh ini berbeda dengan konsep perpustakaan pada umumnya, dan perpustakaan yang merupakan Unit Pelaksana Tugas Perpustakaan Nasional di bawah Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara pada khususnya. Perbedaan itu, antara lain: a) TBM Koleksi Tokoh bersifat memberikan insentif kepada si tokoh, atau ahli warisnya, jika si tokoh telah meninggal dunia; b) TBM Koleksi Tokoh mengutamakan buku koleksi si tokoh sebagai menu utama; c) TBM Koleksi Tokoh bersifat perpustakaan kecil yang intim untuk masyarakat; d) TBM Koleksi Tokoh berciri taman bacaan yang aktif dan proaktif membudayakan kegemaran membaca bagi masyarakat; e) TBM Koleksi Tokoh bersifat lokal.

Efek dari TBM Koleksi Tokoh niscaya majemuk. Antara lain, a) Mencitrakan bahwa pemerintah peduli pada tokoh masyarakat; b) Memberikan insentif kepada si tokoh, atau keluarganya, atas kecintaan mereka pada buku; c) Membukakan akses bagi publik ke koleksi buku si tokoh; d) Membuat daya tarik baru bagi program taman bacaan masyarakat; e) Memberikan alternatif wisata bagi masyarakat, yaitu wisata buku tua; f) Membuka kesempatan bagi tokoh masyarakat untuk berpartisipasi dalam membudayakan kegemaran membaca melalui taman bacaan masyarakat.

Banyak tokoh yang memiliki perpustakaan pribadi yang belum dioptimalkan manfaatnya untuk publik. Banyak tokoh yang ingin membuka perpustakaan pribadinya untuk bisa diakses publik, tetapi mereka tidak terlalu memahami mekanisme pengelolaan perpustakaan. Program TBM Koleksi Tokoh ini salah satu jalan keluarnya. *

Maret 26, 2013 Posted by | Essay | Tinggalkan komentar

TBM@MAL

TBM@MAL

Kelik M. Nugroho, WARTAWAN TEMPO

Sumber: Rubrik Ide, Koran Tempo, 2 Mei 2010.

Sekitar 12 taman bacaan masyarakat kini hadir di sejumlah pusat belanja di Jakarta, Serang, dan Bandung. Di tempat ini, masyarakat bisa duduk di kursi-kursi nyaman sembari membaca buku secara gratis. Atau juga sembari menyeruput minuman kopi–yang dipesan dari kafe sebelah. Suasana taman bacaan mirip kafe, atau toko buku, atau tempat bermain anak (kid corners).

TBM@MAL, yang dibangun Kementerian Pendidikan Nasional, adalah sebuah konsep tempat dan kegiatan untuk mensosialisasi kegemaran membaca buku, yang disesuaikan dengan psikologi pengunjung pusat belanja, khususnya mal. TBM adalah taman bacaan masyarakat mirip perpustakaan, tapi memiliki konsep lebih, yaitu mendatangkan suasana rekreatif.

TBM@MAL sebetulnya tak memiliki konsep jadi. Dalam tataran konsep, TBM@MAL memperoleh penafsiran dari beberapa pendukungnya. Ada yang menafsirkan bahwa TBM@MAL haruslah menghadirkan suasana fun(senang), berdesain interior funky, serta menyediakan buku-buku instan dan bergambar. Lalu ada yang mengusulkan agar TBM@MAL memberikan fasilitas bermain untuk anak (kids corner), panggung ekspresi, dan lain-lain. Dalam penerapannya di lapangan, dipastikan bentuknya menjadi variatif.

Sebagai sebuah ide, TBM@MAL unik dan baru. Di luar negeri, banyak mal dilengkapi dengan perpustakaan. Di Filipina, toko-toko buku di mal menyediakan tempat duduk, juga kafe, bagi pengunjung untuk membaca buku–kalau tak malu–secara gratis. Di Singapura, ada mal yang menyediakan perpustakaan cukup besar dan keren. Di Indonesia? Sekarang inilah dibangun taman bacaan masyarakat, suatu ruang baca buku yang bukan sekadar perpustakaan.

Kebutuhan akan sarana pendidikan ini memperoleh pembenarannya melalui hasil penelitian untuk skripsi karya Inca Agustina yang berjudul “Gambaran Gaya Hidup Remaja yang Memiliki Keterlibatan Tinggi terhadap Shopping Mall” (Penerbit: Unika Atma Jaya, tahun 2005), yang menunjukkan fakta-fakta sebagai berikut. Bahwa remaja didapati menjadi pengunjung mal terbesar dibandingkan dengan kelompok usia lain, karena remaja memiliki waktu luang lebih banyak. Bahwa bagi remaja, mal menjadi sarana rekreasi di mana mereka dapat memenuhi kebutuhan dengan bersosialisasi dengan teman, menikmati fasilitas hiburan, atau hanya melihat-lihat pemandangan dalam mal tersebut. Bahwa walaupun mal memberi banyak pengaruh positif terhadap remaja, sering kali terdapat pandangan negatif bahwa remaja yang sering berkunjung ke mal adalah remaja yang kurang peduli sosial, hanya mempedulikan penampilan fisik, dan konsumtif.

Dari hasil penelitian ini, didapati tiga tipe gaya hidup, yakni “self-centered”, “super-active”, dan “passive”, dengan subyek terbanyak berada pada tipe gaya hidup “Super-Active” (63,2 persen). Kesimpulan dari penelitian ini, sebagian besar remaja yang memiliki keterlibatan tinggi terhadap mal juga memiliki kepedulian tinggi terhadap dunia sekitarnya dan memiliki keinginan untuk berprestasi. Karena itu, para praktisi pemasaran mal yang target konsumennya adalah remaja harus menyediakan sarana dan fasilitas yang bersifat mendidik dan merangsang kreativitas agar mal tidak hanya berfungsi sebagai sarana rekreasi dan hiburan, namun juga menjadi sarana pendidikan.

Mal tampaknya bagian dari perkembangan kebutuhan masyarakat pascamodern yang niscaya. Ia mengalir, dan merangsek dalam kehidupan kita seperti kehadiran telepon genggam dan Internet di rumah kita. Kita tak bisa melawannya secara frontal. Yang bisa kita lakukan adalah menghindari dampak negatif dari poros-poros yang mempengaruhi peradaban kita di masa depan.

Pemikir dan filsuf media Jean Baudrillard sudah lama membaca gejala sosiologi baru masyarakat konsumen ini melalui buku-bukunya. Teorinya untuk membaca sosiologi baru ini adalah teori hiperrealitas. Untuk menjelaskannya, saya akan mengutipkan saja pengertian hiperrealitas seperti ditulis Madan Sarup dalam buku Pos-strukturalisme dan Pos-modernisme, Sebuah Pengantar Kritis (Penerbit Jendela, 2003). Hiperrealitas adalah kondisi baru ketika ketegangan lama antara realitas dan ilusi, antara realitas sebagaimana adanya dan realitas sebagaimana seharusnya, hilang. Di masyarakat media dan konsumsi, orang terjebak dalam permainan citra, simulacra, yang semakin tidak berhubungan dengan yang di luar, “realitas” eksternal. Pada kenyataannya, kita hidup di dunia simulacra, di mana citra atau penanda suatu peristiwa telah menggantikan pengalaman dan pengetahuan langsung sebagai rujukan.

Mal tentu saja bagian dari arus ini. Sebuah frasa menarik tentang mal perlu dikutipkan di sini, yang sayang saya lupa sumbernya. Bahwa mal-mal yang berpenampilan menarik, dengan desain dan cat yang mencolok, menghidupkan kota bagai cahaya yang mampu menarik laron-laron terbang mengelilingi lampu yang bersedia jatuh dalam baskom berisi air sebagai perangkap untuk meniadakan mereka. Mal yang dapat menumbuhkan ideologi individualisme akan konsumsi memang bisa menjebak manusia pada nihilisme sebagai elemen kebenaran. Nah, di sinilah urgensi kehadiran TBM@MAL: sebagai filter terhadap konsumerisme. *

Mei 28, 2010 Posted by | Essay | , | 3 Komentar

Mereka Bukan Syuhada

Mereka Bukan Syuhada

Oleh: Kelik M. Nugroho, wartawan Tempo

 Sumber: Koran Tempo, 11 November 2008

Ribuan orang menyambut keranda jenazah Amrozi, terpidana mati yang telah dieksekusi karena kasus Bom Bali I, di sebuah pekuburan di Lamongan dengan teriakan takbir, atau uluran tangan yang membopong keranda, atawa ekspresi tubuh yang bergetar. Peristiwa itu tentulah bisa disaksikan manusia sedunia melalui layar kaca atau video YouTube ruang mayantara. Mereka yang tak mengerti psikologi umat niscaya geleng-geleng kepala menyaksikan emosi massa yang tumpah dalam halaman takziah. Bagaimana bisa jenazah teroris menyihir ribuan orang untuk bertakziah dan menyambutnya bagai seorang tokoh agama, semacam Kiai Ahmad Sidiq dari Jember, yang memang layak dimuliakan.

Amrozi, Ali Gufron, dan Imam Samudra, trio pelaku Bom Bali I, wajarlah bila berpendapat bahwa tindakan mereka mengebom Sari Club di wilayah Kuta, Denpasar, yang menewaskan ratusan orang (termasuk muslim), sebagai tindakan jihad. Wajar jika mereka mengajukan alasan-alasan teologis untuk membenarkan tindakan mereka karena mereka membela diri di depan dakwaan melakukan tindakan pidana yang membuat mereka akan dieksekusi dengan tembakan mati. Namun, bagaimana dengan mereka yang tak tersangkut-paut dengan kepentingan itu, mengapa mereka membenarkan tindakan pembunuhan ratusan orang yang tak punya sangkut-paut dengan permusuhan dengan apa pun dan dengan siapa pun?

Memang, kerumunan ribuan orang yang melayat penguburan jenazah Amrozi, Ali Gufron, dan Imam Samudra tentu tidak dalam maqam (koordinat) sentimen keagamaan yang sama. Seperti kata Profesor Azyumardi Azra, mantan Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta, di televisi bahwa ribuan orang tersebut tak bisa disamaratakan sebagai pendukung Amrozi dan kawan-kawan secara ideologis. Di antara mereka mungkin ada yang sekadar memiliki kedekatan sebagai tetangga, teman, kenalan, atau sekadar tinggal dekat. Atau mungkin banyak yang terpiuh oleh berita-berita televisi tentang para pelaku Bom Bali I yang ditayangkan secara massif. Atau mungkin motif lain yang beragam.

Namun, harus diakui bahwa banyak di antara para pentakziah itu yang menyambut jenazah trio pelaku Bom Bali I layaknya martir suci yang tewas. Bahkan Ustad Abubakar Ba’asyir, mantan Amir Majelis Mujahidin Indonesia, sebuah kelompok Islam pendukung penerapan syariat sebagai ideologi, berani menyatakan bahwa kematian Amrozi dan kawan-kawan sebagai mati syahid. Mati syahid adalah prestasi positif bagi pejuang Islam yang wafat di medan perang. Sementara itu, Ustad Abu, seperti diketahui, pernah dikait-kaitkan sebagai bagian dari konspirasi terorisme di Indonesia.

Mata sebagian penduduk dunia niscaya menyaksikan peristiwa eksekusi trio pelaku Bom Bali I sebagai peristiwa penting karena para korban dari berbagai negara, sedangkan masalah terorisme berlatar radikalisme agama sedang menjadi sorotan dunia pascapenyerangan gedung kembar Word Trade Center, New York. Mata sebagian penduduk dunia tentu akan merasa lega setelah hukum positif berupa eksekusi mati terhadap trio pelaku Bom Bali I dilaksanakan. Terlepas dari keberatan sejumlah aktivis hak asasi manusia atas pelaksanaan hukuman mati, pesan kepada dunia telah disampaikan: terorisme tak mendapat tempat di Indonesia.

Adanya histeria pendukung Amrozi secara ideologis adalah sebuah pertanda. Pertama, sebagian muslim di Indonesia belum bisa membedakan antara sebuah tindakan dikategorikan pembunuhan dan bukan. Kedua, telah terjadi kerancuan logika dalam beragama karena domain teologi bertabrakan dengan domain sosial. Ketiga, di kalangan muslim muncul kecenderungan cara-cara Machevialistis (tujuan menghalalkan cara), padahal dalam ushul fiqih Islam diajarkan bahwa tujuan tak bisa menghalalkan segala cara.

Kerancuan dalam cara memandang tindakan peledakan Bom Bali I ini tentu menyisakan ancaman bagi dunia bahwa ternyata sebagian muslim masih menganut nilai-nilai yang berbahaya bagi pergaulan kemanusiaan. Kalangan ulama mestinya bertanggung jawab mengajarkan kepada umat Islam bahwa pengeboman di Bali itu merupakan tindakan terorisme dan tak bisa dikategorikan jihad karena dilakukan di Indonesia yang bukan wilayah perang.

Majelis Ulama Indonesia pada 2003 memang pernah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan terorisme. Dalam banyak kesempatan Kiai Ma’ruf Amin, Ketua Dewan Fatwa Majelis Ulama Indonesia menyatakan, karena Indonesia bukan wilayah perang, terorisme merupakan perbuatan haram. Fatwa itu jelas dan eksplisit. Toh, fatwa MUI ini tampaknya kalah populer dibanding pernyataan-pernyataan Imam Amrozi, Ali Gufron, dan Imam Samudra di televisi, seperti terbukti dengan banyaknya pelayat yang menyambut jenazah mereka dengan takbir. Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah membentuk tim sosialisasi pemahaman jihad, yang salah satunya melibatkan cendekiawan Komaruddin Hidayat, yang sekarang menjabat Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta. Tim ini lama tidak terdengar programnya. Apakah masih aktif?

Pemandangan histeria dalam upacara penguburan jenazah Amrozi dkk harus menjadi pengingat tim ini bahwa tugas mereka belum selesai. Masih diperlukan sosialisasi dan pendidikan yang panjang untuk mengembalikan cara berpikir sebagian umat yang salah, yang berjumlah mungkin ribuan orang. Mereka yang berpendapat bahwa pengeboman yang dilakukan Amrozi dkk sebagai jihad perlu merenungkan komentar Khusnul Khotimah, korban Bom Bali I yang cacat seumur hidup. “Saya juga seorang muslim. Ketiganya (Amrozi dkk) salah menganggap bahwa perbuatan mereka jihad. Itu pembunuhan,” kata Khusnul di televisi. Mereka yang masih ngotot berkeyakinan bahwa perbuatan Amrozi dkk sebagai jihad mungkin perlu belajar menjadi korban pengeboman dulu untuk memahami arti jihad. *

Januari 17, 2010 Posted by | Essay | , , | 1 Komentar

Esai 12

Nestapa Tao dari Waktu ke Waktu

Filsafat Tao dalam sejarahnya sering tersingkir di tempat kelahirannya. Gebalau politik biang keroknya.

MUTIARA filsafat Tao — salah satunya ajaran keseimbangan antara yin dan yang — sering terpuruk di pojok-pojok sejarah Cina. Nasib tersingkir di tempat kelahirannya sendiri dimulai ketika kaum misionaris Jesuit mendarat di Negeri Tiongkok pada abad ke-16. Di mata para pastor Katolik, penganut Tao dianggap sebagai pemeluk ajaran menyimpang (mi-sin). Karena kaum misionaris berhasil menggandeng penguasa Cina, ajaran Tao pun sempat terpinggirkan. Dalam perjalanan sejarah berikutnya, ajaran Tao beberapa kali menjadi korban pertikaian politik, dari waktu ke waktu.

Namun, ajaran Tao benar-benar dirusakkan oleh gebalau politik pada masa Revolusi Kebudayaan, 1964-1976. Ahli sinologi Kristofer Schipper, dalam buku The Taoist Body terbitan Pelanduk Publication Malaysia, 1996, menggambarkan bahwa agama kuno Cina waktu itu sama sekali hilang bentuk. “Terasa tidak ada seorang bijak pun di dunia ini,” kata Schipper. Soalnya, mendasarkan filosofi hidup pada ateisme, Ketua Mao Zedong menggeser agama-agama tradisional Cina dan menggantinya dengan “agama” lain: komunisme.

Untunglah, ajaran Tao tidak benar-benar punah. Ia bermigrasi ke desa-desa pantai Hong Kong dan ke negeri jiran, Taiwan. Para pemeluk Tao secara gigih mencoba mengumpulkan manuskrip Tao yang selamat dari keganasan Revolusi Kebudayaan. Di era modern Cina, ajaran Tao kembali muncul dengan caranya yang tak terduga. Salah satu bentuk kebangkitan Tao yang terpenting adalah antusiasme masyarakat untuk berlatih meditasi dan pernapasan qigong (baca “chikung”).

Sekarang pemerintahan komunis Cina di bawah Presiden Jiang Zemin memberikan koridor kebebasan yang lebih lebar untuk kegiatan spiritual. Tak hanya agama resmi seperti Katolik, Buddha, Islam, dan Kristen yang dibebaskan tumbuh, tapi juga kelompok-kelompok mistik dan klenik. Maka, aneh bila pemerintah Beijing kemudian melarang Falun Gong, kelompok meditasi yang mengadopsi teknik qigong. Ironi pun mengiris: banyak ilmuwan dunia telah lama melirik filsafat Timur — termasuk Taoisme — untuk melengkapi pendekatan mereka dalam mengapresiasi realitas alam, sementara di tanah kelahirannya sendiri, warisan Taoisme, disingkirkan. *

*) Artikel ini pernah dimuat di rubrik Selingan, majalah Tempo, edisi 22, Agustus 1999. Artikel ini dimuat ulang dalam blog pabrikbunyi.wordpress.com dengan sedikit perubahan.

April 7, 2008 Posted by | Essay | , | Tinggalkan komentar

Esai 11

Revolusi di Senja Peradaban Modern

Teknologi kloning muncul ketika paradigma sains mengalami transisi dari pandangan mekanis Descartes ke pandangan holistis.

Arthur C. Clarke, futurolog Sri Lanka, pernah meramalkan bahwa kloning pada manusia akan terwujud pada 2004. Entah mengapa ramalan Clarke ini meleset. Dunia memang berdebar-debar cemas akan dampak sosial-etis kloning pada manusia, dan puji Tuhan bahwa hingga tahun ini manusia kloning hanya muncul di film-film Holywood.

Baca lebih lanjut

Desember 13, 2007 Posted by | Essay | , , , | 5 Komentar